<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d17524621\x26blogName\x3dBANGUN+LALU+BERLARI\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://zulian.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://zulian.blogspot.com/\x26vt\x3d-1004229181865297918', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>

Wednesday, June 15, 2016

Memotret Dieng

Selain di puncak Jayawijaya Papua yang berselimut salju, di Jawa pun ternyata ada fenomena air yang membeku menjadi butiran es. Dataran tinggi Dieng (Dieng Plateau) tempatnya. Setiap musim kemarau di sekitar bulan Juli—Agustus suhu di dataran tinggi tersebut turun drastis sampai sekitar nol derajat celcius pada sore dan malam hari, sehingga embun akan berubah menjadi butiran es. Bagi masyarakat di kawasan dataran tinggi Dieng fenomena ini biasa disebut dengan bun upas.

Fenomena bun upas sangat menarik perhatian orang-orang untuk datang dan merasakan sendiri butiran es yang terhampar luas. Meski dingin menusuk tulang tetapi pengalaman merasakan berjalan di hamparan butiran es menjadi daya tarik tersendiri, apalagi di negara bersuhu tropis ini. Dan untuk mendokumentasikan pengalaman tersebut kamera menjadi barang yang wajib dibawa.

Dieng merupakan dataran tinggi di Jawa. Tingginya sekitar 2000 meter di atas permukaan laut. Suhu rata-rata berkisar antara 12—20 C di siang hari dan 6—10 C pada malam hari. Dieng adalah kawasan vulkanik aktif di Jawa Tengah yang masuk dalam wilayah Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, berada di sebelah Barat jajaran Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing (sumber: www.wikipedia.org).

Pengalaman saya mengikuti kegiatan outcamp “Let’s Explore Dieng” kelas 5 siswa Sekolah Alam Cikeas (SAC) menjadi satu pembelajaran yang sangat berkesan. Meski tak sempat mengalami fenomena bun upas, tetapi suhu yang dingin dan panorama alam pegunungan Dieng yang selalu berkabut membuat saya tertantang untuk menyalurkan hobi memotret saya. Jauh hari sebelum keberangkatan saya mencoba untuk telusur internet perihal fotografi di cuaca dingin dan hasilnya banyak sekali artikel yang bisa dipakai sebagai panduan dalam memotret.  

Di bulan Mei suhu pada malam hari berkisar antara 8—11 C dan siang hari berkisar di 18—22 C, tetapi perlakuan terhadap kamera dan trik memotret pada suhu dan cuaca yang cepat sekali berubah tetap harus menjadi prioritas perhatian.

Karena keterbatasan perlengkapan fotografi, saya hanya membawa 1 kamera DSLR + 1 batere cadangan. Tas kamera yang di dalamnya sudah saya persiapkan plastik perekat kedap udara (seal plastic) dan 1 saset teh celup (pengganti silica gel), lalu kain lembut, sarung tangan, dan kamera HP (kamera yang simpel sebagai cadangan).

Pagi hari kabut masih tebal menyelimuti pegunungan Dieng. Saat terbaik untuk mengarahkan kamera ke area pegunungan dan kawasan pertanian kentang. Nuansa mistis akan  tercipta dimana gunung seperti mengambang (melayang) layaknya negeri di atas awan. Siang hari terik pun kita masih bisa memotret. Langit biru yang cerah dapat menjadi latar yang mempesona bagi kawasan Kawah Sikidang yang tandus dan panas atau kawasan Candi Arjuna yang menggambarkan kemegahan peradaban masyarakat Hindu masa lampau. 

Dieng memang menebarkan sejuta spot menarik untuk diabadikan. Spot yang menjadi fenomenal dan ramai dikunjungi adalah melihat matahari terbit. Untuk mendapatkan momen terbaik melihat matahari terbit kita sudah harus berada di desa Sembungan yang merupakan desa tertinggi di Jawa pada dini hari menjelang subuh (sekitar jam 3). Lalu mendaki perbukitan Sikunir menuju puncaknya selama kurang lebih 1 jam dan tepat sekitar pukul 5 pagi akan muncul lembayung kuning emas, awal matahari akan terbit. Memotret di puncak perbukitan yang dingin dan melihat proses matahari terbit menjadi daya tarik banyak wisatawan. 

Selepas itu semua, kinerja kamera di cuaca dingin menjadi sangat vital dalam mengabadikan setiap momen. Perhatian ekstra ketat terhadap batere dan body kamera, juga perlakuan kepada kamera pasca memotret dan media penyimpanan menjadi prioritas perhatian berikutnya. Cuaca dingin akan membuat daya batere cepat sekali berkurang, karenanya saya telah siapkan batere cadangan.

Kamera selalu saya simpan di dalam tas kamera, tidak digantung di leher. Hal ini untuk mengisolasi kamera dari udara dingin dan menghindari embun yang dapat mengenai body kamera yang akan menyebabkan korosi. Bila tidak digunakan untuk memotret kamera saya masukkan ke dalam plastik kedap udara yang di dalamnya sudah saya letakkan 1 saset teh celup. Teh celup dapat menggantikan silica gel, berfungsi menarik udara lembab yang ada di dalam plastik.

Menjaga kamera agar tetap kering saya gunakan kain lembut untuk membalut kamera. Cuaca dingin yang ekstrem dapat menyebabkan pembekuan di dalam kamera sehingga menimbulkan gangguan pada bagian yang terbuka lainnya. Menyimpan kamera ke dalam tas kamera juga merupakan tindakan kondensasi (penyesuaian suhu).

Dieng masih menyimpan banyak spot menarik yang belum terekspos. Menjaga alam, merawat budaya lokal menjadi tugas kita semua sebagai bentuk publisitas Dieng sebagai kawasan wisata sekaligus situs budaya.     







Friday, October 30, 2015

Mengasuh Bumi

Dua puluh delapan Oktober,
hitungan bulan basah,
ada lagu yang hilang dari mejameja kerja,
tuan dan nyonya yang terhormat.

Dua puluh delapan Oktober,
hitungan tak lagi sama,
ada napas yang membuntukan rongga,
membuat mati siasia anakanak masa depan.

Dua puluh delapan Oktober,
dalam rancu hitung menghitung,
ada mimpi selapang hati,
pada lubang biopori putraputri zaman ini.

Berjanji,
mengasuh bumi.

Oktober 2015,

(Kulihat ibu pertiwi sedang bersusah hati. Air matamu berlinang mas intanmu terkenang. Hutan gunung sawah lautan simpanan kekayaan. Kini ibu sedang lara merintih dan berdoa. Ibu kami tetap cinta putramu yang setia. Menjaga harta pusaka untuk nusa dan bangsa. Lirik lagu Ibu Pertiwi karya Ismail Marzuki mengiringi).