<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d17524621\x26blogName\x3dBANGUN+LALU+BERLARI\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://zulian.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://zulian.blogspot.com/\x26vt\x3d-1004229181865297918', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Monday, December 24, 2007

Kardus

Kardus: kertas tebal, kotak. Itu arti harfiahnya. Tetapi tahukah anda benda apa yang paling favorit bagi pemudik? Itulah kardus. Kita bisa tebak bukan pemudik bila tiba di terminal tidak menenteng kardus.

Dengan kardus semua keperluan mudik dapat dibawa dalam satu paket. Dengan kardus pula para pemudik dapat meringkas barang bawaannya tanpa perlu banyak tas. Bisa jadi untuk membuat statistik pemudik dapat dihitung dari seberapa banyak orang di stasiun ataupun terminal menenteng kardus, meski tidak semua orang yang menenteng kardus adalah pemudik
. Bisa jadi ia tukang rokok atau indomie rebus!

Akhir-akhir ini teman saya, sebut saja si Budi, tokoh terkenal dalam pelajaran bahasa Indonesia, pusing tujuh keliling. Di setiap
coffee morning di warung "Mpok Jah" selalu saja wajah murungnya yang tampak. Ia merasa telah memerah otaknya habis-habisan, tetapi problem hidup yang dihadapinya sepertinya tak kunjung usai. "Kepala serasa mo pecah," itulah kalimat favorit yang sering diucapkannya.

Permasalahan bisa timbul dari mana saja. Seperti nyala api ia bisa membakar seperti debu ia dapat membutakan. Masalah yang hanya awalnya termasuk kategori biasa cenderung ringan akan berubah menjadi status bahaya dan membah
ayakan bila tak cerdas memilah.

Masalah tak akan pernah ada habisnya. Pada setiap waktu ia hinggap kapanpun ia mau. Ia ada karena dicipta bukan tercipta. Setiap kali ia datang ia akan berubah menjadi monster yang menakutkan. Entah dari bahan apa ia terbuat, terkadang otak tak mampu untuk memamahnya.

Lalu apa hubungannya otak dengan kardus? Begini, guru spiritual saya dari Banten (narsis deh) mewasiatkan, “Otak kita tak lebih besar dari sekepalan tangan. Ambil yang penting, buang yang gak penting.” Artinya kurang lebih bahwa otak kita tak punya tempat maha luas untuk menampung setiap masalah atau apapun itu namanya yang kita paksakan untuk berpikir. Apalagi setelah dibagi sisi kanan dan kiri, berapa kira-kira sisa daya tampungnya? Tak lebih mungkin dari 1 megabyte.

Bagaimana kalau kita coba otak ini difungsikan layaknya kardus? Seakan pulang kampung, semua barang kebutuhan ditempatkan pada satu wadah. Dipilah mana yang perlu dibawa dan mana yang tidak. Ditata atas bawah. Disusun sesuai berat. Selanjutnya diikat. Simpel bukan?
.

Setiap masalah, kenangan, keputusan, khayalan dan lain sebagainya mempunyai tempat bersemayam tersendiri di otak. Bila dipilah, ditata, disusun, dan ditempatkan dengan baik layaknya menempatkan barang dalam kardus, kerja otakpun akan menjadi lebih ringan karena masing-masing sisi sudah tahu akan tugas dan kewajibannya. Beban yang berat sekalipun dapat diselesaikan dengan segera bila kecepatan berpikir dan mengambil keputusan terlaksana dengan baik sesuai
memory of understanding otak dan gerak (fisik).

Mari acungkan jempol untuk pemudik. Mereka bisa memanfaatkan secara optimal “kertas tebal berbentuk kotak” tersebut untuk meringkas bawaanya. Darinya saya dapat pelajaran bahwa hidup sebaiknya jangan dibuat susah. Ikhlas
nrimo jadi pegangan.

Setiap permasalahan harus dipilah dengan nilai skala prioritas. Hari ini hanya bisa makan jagung, ya makan jagung, siapa tau esok bisa makan nasi, syukur-syukur gandum! Meski saya belum bisa menentukan esok itu kapan esok itu apakah masa depan? Atau mungkinkah mereka pengikut Einstein: 15% persen otak, selebihnya keringat. Mudik yuk!

0 Comments:

Post a Comment

<< Home